Jumat, 29 Januari 2021

Siapakah "Kau" dalam setiap sajakmu?


Kala malam bergeming
Tersisakan hening
Suara jangkrik menyambut
Dataran telah diselimuti kabut 

Aku dibalut kelut
Menggerutu tanpa sebut
Dingin menggetarkan ragaku
Menggigilkan tanya pada pikiranku 

Adakah aku mengganggu tidurmu?
Atau barangkali sekedar menjadi mimpi burukmu?
Pada siapa tiap sajak merdu itu tertuju?
Bukankah aku?— Bukanlah aku. 

-nickylivya, 30012021.

Sajak Pecundang


03.30 pagi—aku masih terduduk menunggu kantuk yang tak kunjung sudi berlabuh pada tubuh yang saban harinya dipenuhi keluh. Sesekali, kala bosan menghampiri, diri ini meminta seseorang untuk menemani barang dengan beberapa batang filter dan secangkir kopi.
Menerobos malam—melawan terpa angin, menghayati dingin serta memandangi jalan yang dilalu-lalangi kendaraan yang tak seramai siang hari; pada saat-saat ini, hening mulai bergeming.
Ada kepuasan tersendiri kala berkawan dengan sepi—mungkin memang benar, bahwa manusia perlu rehat dan merenungi apa-apa saja yang telah terlewat; jeda perlu ada.
Mengapa harap diciptakan?—menjadi candu bagi sebagian besar orang, bermimpi tentang hal yang tak pasti; pada akhirnya, mereka terpatahkan oleh ekspektasinya sendiri.
Lelah itu manusiawi—untuk diriku, untukmu, dan teruntuk setiap dari kita yang kerap merasa dipecundangi oleh segala kesialan ini. Kata semangat dirasa sudah kehilangan sengat. Biar bagaimanapun, jangan pernah bosan mencari yang tepat; sebab mereka yang tepat akan selalu mensyukurimu sebagai sesuatu yang hebat. 

Minggu, 25 Oktober 2020

Akan selalu ada banyak kemungkinan dalam hidup. 

 Seseorang menangis, mungkin karena sedih, mungkin karena terharu, mungkin karena kelilipan; semuanya bisa jadi. Dan masih banyak lagi kemungkinan. Prasangkamu itu hanya 1/infinity. Hanya 1 berbanding segala kemungkinan yg tak berujung. 

Tenangkan dirimu, di balik semua ketakutanmu, ada banyak kebaikan yg mungkin akan terjadi. Semua yg ada di pikiranmu itu bukan kenyataan, kita tak pernah tau esok akan bagaimana. 

Kamu sudah hebat! 🌹

Senin, 17 Agustus 2020

Resahku


Ketahuilah, kasih..
Aku ini manusia yang penuh dengan dendam dan nestapa.
Luka yang kuterima, tak cukup sembuh bila hanya dibasuh air mata.
Selagi kisahmu dengannya belum kau sudahi,
Selagi itu pula aku akan terus merasa kau ludahi.

Bahagia kah kau rasa bersamaku?
Memang benar, ragu selalu menghantuiku.
Tapi, bukan di atasmu, melainkan pada aku.
Baik kah aku, untukmu?
Cukupkah teduh mataku bagi hatimu?
Nyatakah tawa indahmu itu?
Ataukah semua hanya untuk menghargaiku?

Sempat tersirat dalam ego-ku.
Bagaimana jika kita saja yang kau sudahi?
Bagaimana biar saja aku, kau ludahi?
Bagaimana, bila aku yang pergi?

Tapi, kasih..
Aku tak ahli dalam menyambutmu pergi
Aku tak pandai berdamai dengan sepi
Aku terlalu dungu untuk kembali menunggu.

-Nicky Livya
Bandung, 18082020.

Selasa, 11 Agustus 2020

Pernahkah kau?

Kala malam panjang cipta hening
Pula dendam jua bergeming
Pada ia kau abdikan
Serata jiwa yang tak terabadikan

Sejuk petrikor masih tercium
Jadi endapan dalam septum
Jenjam menjelma spektrum
Acuh utuh masih belum

-Nicky Livya
Bandung, 12082020.

Jumat, 07 Agustus 2020

Permohonan Maaf


Tuan...
Ampun aku karena tak pandai dalam mengungkap syukur sebab telah memilikimu.
Terjebak dalam badai pikiranku, bila kau anggap aku meniadakanmu.
Kau ada.
Sungguh.
Kau selalu ada pada setiap terik dan redupku.
Di setiap cuaca kehidupanku.
Dalam Aku.

Rabu, 29 Juli 2020

PENAT

Serupa langit, kasih.
Begitulah suasana hati dan pikiranku.
Tak selamanya kemarau,
Tak selamanya pula hujan kacau.
Akan selalu ada pelangi di sisa-sisa rintik,
Akan selalu ada teduh di sela-sela terik.

Serupa beringin di tengah kota, kasih.
Terkadang merasa sepi,
Terkadang ditemani para penikmat kopi.
Sebanyak apapun gedung megah,
Satu pun, tak dapat menghilangkan resah.

Selayaknya engkau, aku pun hanya seorang makhluk.
Tak lebih dari seonggok daging yang diberi nyawa dan terkutuk.
Tak lepas dari norma masyarakat yang melekat.
Juga mampu merasa penat.

-Nicky Livya
Bandung, 29 Juli 2020.

Minggu, 19 Juli 2020

RUWET

Di suatu malam tanpa cahaya, aku menyusuri jalanan yang sunyi seperti tak berpenghuni. Bumi yang biasanya ramai dan menyebalkan, kini sejenak terasa tenang kala para penghirup udara mulai pulas satu-persatu. Pada setiap langkah ringanku, aku mulai menjelma filsuf yang banyak bertanya. 
 “Apakah aku benar-benar sendirian? “ gumamku. 
 Aku mulai bosan dengan perjalanan yang tanpa tujuan ini. Lalu, kutendang saja kerikil yang menghalangi jalanku. 
“Aw! Sakit! “— sontak aku terkejut! 
 “Siapa itu? “ tanyaku, 
“Ini aku, kerikil yang kau tendang dengan kaki kecilmu. Apakah mata kakimu sudah buta sehingga tak dapat kau lihat aku?“ kerikil menggerutu. “
M.. Mm.. Maaf” kataku yang masih tidak percaya dapat mendengar sebuah kerikil berbicara. 
 Kemudian kuambil kerikil itu dan kukembalikan ke tempat asalnya di pinggir trotoar dekat polisi tidur. 
 “Saya duluan, ya. “ aku pamit kepada kerikil dan melanjutkan perjalanan.  
“Haaafftttt—kurasa aku mulai gila. “ aku bergumam lagi. 
 Langkah demi langkah semakin membuat tubuhku melayang, dengan angin yang menerpa membuatku setengah menggigil. Kuputuskan saja untuk menepi, mengambil beberapa detikku untuk rehat. Pundak mungilku yang bahkan tulangnya belum matang namun sudah dipaksa memanggul tas berat, kupijat perlahan dengan jemariku sendiri, aku takut dia depresi, hihihi. 
Rasa-rasanya seperti itu pula hal yang kualami terlebih dalam ranah keluarga.
Huufftt. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Mulutku yang menguap mulai mengkonstruk mataku untuk berubah menjadi sayu. Sialan. Padahal aku masih belum ingin tertidur. 
Punggung belakang ini rasanya semakin hari semakin tua saja. Mau tidak mau, aku harus bersandar. Kemudian, kusandarkan saja pada tiang di pinggir jalan tepat di samping tempat yang kupilih untuk terpejam. 
Tak lama, aku mulai bergumam kembali. “Ada masalah apa Purnama tak muncul malam ini? Apakah ia membenciku? Atau justru ia kalah dengan Dewi kegelapan? “ 
Serta pula sebatang Tiang berbisik melalui karatnya dan memotong pembicaraanku,
"Purnama telah mempermainkanku, Ia datang hanya satu malam lalu meredup, kemudian mengutuh kembali. Tepat hanya satu malam saja. " tiang terlihat murung bercampur kesal. 
Dan, tau apa yg membuatku meminta maaf karena apa yang diucapkannya? 
Tiang berkata, 
"Biarpun begitu, aku selalu menunggunya di tiap-tiap pertengahan bulan. Aku menghitung hari per harinya demi untuk menjumpainya kembali. " Kemudian tiang itu tersenyum. 
Seperti halnya orang yang sedang jatuh cinta, Ia bisa murung kemudian menjadi tersenyum kapan saja dalam waktu yang tak dapat diduga-duga. 
"Cukup! " kataku, pada Tiang. 
"Kau hanya mengucapkan apa yg sebenarnya selalu aku lakukan. " 
Ya. Memang benar adanya. Selalu saja aku menunggu hal yang entah apa dan kapan akan menjadi pasti. Entah yang kutunggu akan kembali menantikanku atau justru yang kunanti sebenarnya malah jijik dengan kehadiranku ini. Ataukah jika kelak kami saling menanti, mungkinkah akan semesta menghendaki kami untuk saling membersamai? 
Aku tak pernah tahu, aku tak pernah benar-benar tahu. Sebab, apa yang lebih nyata daripada hari ini dan detik ini? Maka, izinkan aku sejenak bermimpi untuk mengisi tenaga dari mayat letih ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang tanpa tujuan, kembali. 


 -Nicky Livya S 
Bandung, 19 Juli 2020. 

Rabu, 17 Juni 2020

Aku

Terdampar diri berjelaga
Lenyap merasuk udara
Terperangkap rindang
Lantas gersang

Larut dalam gelap
Terbutakan pandang
Langkah lusuh kerap
Tak dituntun purnama terang

Terjebak semak
Lemah untuk berteriak
Terbaring muak
Lalu abadi mengabstrak

-Nicky Livya
Bandung, 08072020.

Kamis, 21 Mei 2020

Selamat Tinggal


Selamat Tinggal

Muram raut menuai
Tatap buram yang memburai
Terbebani sepi
Tak berani sendiri

Hadir tanpa permisi
Permisi tanpa hadir
Tumbuh tanpa tanam
Tanam tanpa tumbuh

Malam angkuh memanjang
Hadir keluh timbul terpajang
Luruh seluruh garis kenang
Lantar riuh seorang pecundang


-Nicky Livya
Bandung, 21 Mei 2020.

Selasa, 19 Mei 2020

Esensi-Aksidensi

Memang agak rumit sepertinya berada dalam proses abstraksi diri dalam pencarian Aku yang adalah Aku. Sebab untuk menemukan esensi, maka harus meninggalkan segala ciri aksidensi; untuk menanggalkan 'pakaian' saja rasanya masih berat. Belum lagi perihal sifat, jumlah, hubungan, pasivitas dan ruang-ruang aksidensi lainnya. Bahkan untuk mengenali "Siapa Aku" saja sangat lah tidak mudah. Yang menegaskan rumit di sini adalah rasa sombong dan angkuh yang begitu melekat pada diri, merasa menjadi pemilik dari berbagai hal dan terus merasa tidak cukup. Jelas, ini bukan lagi berbicara perihal benar dan salah atau pun pahala dan dosa, juga bukan tentang surga dan neraka. Lebih dari itu, melainkan berbicara perihal Sang Pencipta. Ya, aku sepakat bila ada yang mengatakan "untuk dapat mengenal Tuhan maka kenalilah dirimu..." sampai kamu benar-benar menemukan "AKU" yang menanggalkan segalanya hingga ke titik menyadari Ke- Maha-Suci-an-Nya. 
Bisakah kita ini para manusia? Hihihi. 
Takbiiirrr..

Bandung, 20 Mei 2020.

Siapakah "Kau" dalam setiap sajakmu?

Kala malam bergeming Tersisakan hening Suara jangkrik menyambut Dataran telah diselimuti kabut  Aku dibalut kelut Menggerutu tan...