Minggu, 19 Juli 2020

RUWET

Di suatu malam tanpa cahaya, aku menyusuri jalanan yang sunyi seperti tak berpenghuni. Bumi yang biasanya ramai dan menyebalkan, kini sejenak terasa tenang kala para penghirup udara mulai pulas satu-persatu. Pada setiap langkah ringanku, aku mulai menjelma filsuf yang banyak bertanya. 
 “Apakah aku benar-benar sendirian? “ gumamku. 
 Aku mulai bosan dengan perjalanan yang tanpa tujuan ini. Lalu, kutendang saja kerikil yang menghalangi jalanku. 
“Aw! Sakit! “— sontak aku terkejut! 
 “Siapa itu? “ tanyaku, 
“Ini aku, kerikil yang kau tendang dengan kaki kecilmu. Apakah mata kakimu sudah buta sehingga tak dapat kau lihat aku?“ kerikil menggerutu. “
M.. Mm.. Maaf” kataku yang masih tidak percaya dapat mendengar sebuah kerikil berbicara. 
 Kemudian kuambil kerikil itu dan kukembalikan ke tempat asalnya di pinggir trotoar dekat polisi tidur. 
 “Saya duluan, ya. “ aku pamit kepada kerikil dan melanjutkan perjalanan.  
“Haaafftttt—kurasa aku mulai gila. “ aku bergumam lagi. 
 Langkah demi langkah semakin membuat tubuhku melayang, dengan angin yang menerpa membuatku setengah menggigil. Kuputuskan saja untuk menepi, mengambil beberapa detikku untuk rehat. Pundak mungilku yang bahkan tulangnya belum matang namun sudah dipaksa memanggul tas berat, kupijat perlahan dengan jemariku sendiri, aku takut dia depresi, hihihi. 
Rasa-rasanya seperti itu pula hal yang kualami terlebih dalam ranah keluarga.
Huufftt. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Mulutku yang menguap mulai mengkonstruk mataku untuk berubah menjadi sayu. Sialan. Padahal aku masih belum ingin tertidur. 
Punggung belakang ini rasanya semakin hari semakin tua saja. Mau tidak mau, aku harus bersandar. Kemudian, kusandarkan saja pada tiang di pinggir jalan tepat di samping tempat yang kupilih untuk terpejam. 
Tak lama, aku mulai bergumam kembali. “Ada masalah apa Purnama tak muncul malam ini? Apakah ia membenciku? Atau justru ia kalah dengan Dewi kegelapan? “ 
Serta pula sebatang Tiang berbisik melalui karatnya dan memotong pembicaraanku,
"Purnama telah mempermainkanku, Ia datang hanya satu malam lalu meredup, kemudian mengutuh kembali. Tepat hanya satu malam saja. " tiang terlihat murung bercampur kesal. 
Dan, tau apa yg membuatku meminta maaf karena apa yang diucapkannya? 
Tiang berkata, 
"Biarpun begitu, aku selalu menunggunya di tiap-tiap pertengahan bulan. Aku menghitung hari per harinya demi untuk menjumpainya kembali. " Kemudian tiang itu tersenyum. 
Seperti halnya orang yang sedang jatuh cinta, Ia bisa murung kemudian menjadi tersenyum kapan saja dalam waktu yang tak dapat diduga-duga. 
"Cukup! " kataku, pada Tiang. 
"Kau hanya mengucapkan apa yg sebenarnya selalu aku lakukan. " 
Ya. Memang benar adanya. Selalu saja aku menunggu hal yang entah apa dan kapan akan menjadi pasti. Entah yang kutunggu akan kembali menantikanku atau justru yang kunanti sebenarnya malah jijik dengan kehadiranku ini. Ataukah jika kelak kami saling menanti, mungkinkah akan semesta menghendaki kami untuk saling membersamai? 
Aku tak pernah tahu, aku tak pernah benar-benar tahu. Sebab, apa yang lebih nyata daripada hari ini dan detik ini? Maka, izinkan aku sejenak bermimpi untuk mengisi tenaga dari mayat letih ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang tanpa tujuan, kembali. 


 -Nicky Livya S 
Bandung, 19 Juli 2020. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Siapakah "Kau" dalam setiap sajakmu?

Kala malam bergeming Tersisakan hening Suara jangkrik menyambut Dataran telah diselimuti kabut  Aku dibalut kelut Menggerutu tan...